Selasa, 21 November 2017

Tahap Menangani Resiko Gempa Bumi

tahap mengurangi resiko gempa

Rabu, 27 September 2017

MENDIDIK ANAK MENURUT ISLAM

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pendidikan secara luas merupakan proses untuk mengembangkan  potensi pada diri seseorang  yang meliputi tiga aspek yakni pandangan hidup, sikap hidup, dan keterampilan hidup. Pendidikan juga berfungsi untuk mempersiapkan anak-anak agar dapat melakukan kewajibannya yang bermacam-macam dikehidupan ini.
Anak merupakan anugrah Allah yang mempunyai dua potensi yaitu bisa menjadi baik dan bisa pula menjadi buruk. Baik buruknya sangat berkaitan erat dengan pendidikan yang diperoleh oleh si anak. Dalam mendidik anak, Islam mengharuskan dalam lingkungan yang baik dan yang termasuk  ke dalam hak anak dari orang tuanya ialah memdapat pengajaran akhlak yang baik.[1]
Namun demikian, dalam proses pendidikan anak juga tidak dibolehkan dengan semena-mena. Karena bagaimanapun anak memiliki hak-hak yang mesti ditunaikan yang juga menjadi kebutuhannya dalam kehidupan pendidikan. Hak inilah yang sering terlupakan oleh para penyelenggara pendidikan terhadap anak-anak.  Sehingga anak terganggu dari segala arah, termasuk secara emosional sia anak. Dan akhirnya peristiwa ini juga menyebabkan gagalnya lembaga pendidikan dalam mencapai tujuan dari sebuah pendidikan.
Salah satu cara untuk mengetahui kebutuhan anak dalam proses pendidikan adalah pendekatan secara emosional. Karena pendekatan ini merupakan pendekatan yang berusaha menggunakan perasaan, yaitu perasaan sia anak dan pendidik dalam memahami kebutuhan si anak.
Oleh karena itu dalam makalah ini penulis memaparkan tentang Hak-Hak Anak dalam Konsep pendidikan Islam dan menganalisinya dengan mengggunakan pendekatan emosional.


B.     Rumusan Masalah
Berkaitan dengan latar belakang maslah yang telah dipaparkan, yang menjadi rumusan masalah  dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.      Bagaimana pengertian hak-hak anak?
2.      Apa sajakah hak-hak anak dalam konsep pendidikan Islam?
C.    Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini adalah:
1.      Untuk mengetahui pengertian dari hak-hak anak.
2.      Untuk mengetahui hak-hak anaka dalam konsep pendidikan Islam.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hak Anak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata hak diartikan sebagai kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu.[2] Sedangkan dalam kamus Ilmiah Populer hak mempunyai arti yaitu yang benar, tetap dan wajib, kepunyaan yang sah.[3] Dengan begitu boleh dikatakan pengertian hak adalah segala sesuatu yang wajib dimiliki atau diperoleh dan apabila tidak diperoleh maha berhak untuk dituntut.
Kemudian kata anak dalam kitab Undang-Undang Hak Asasi Manusia 1999 dan Undang-Undang tentang Unjuk Rasa, anak didefinisikan sebagai berikut: anak adalah setiap manusia di bawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak dalam kandungan.[4] Dan menurut Anton M. Moeliono di dalam buku Mendidik Anak dalam Kandungan, anak  adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu.[5] Anak dalam pengertian yang pertama telah dikhususkan dengan adanya batasan-batasan, sehingga seseorang yang telah mempunyai batasan tersebut maka tidak bisa digolongkan sebagai anak. Sedangkan pada pengertian kedua bersifat umum tanpa batasan apapun.
Dari beberapa pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa hak anak adalah sesuatu yang harus harus didapatkan atau diterima oleh anak dan apabila tidak diperoleh, anak berhak menuntut hak tersebut. Dalam hali yang wajib memenuhi,menjamin serta melindungi adalah orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah.


B.     Macam-Macam Hak Anak dalam Konsep Pendidikan Islam
1.      Hak mendapat Pendidikan
Hakikat pendidikan untuk anak  sebenarnya sangat berkaitannya  dengan dengan pengertian anak sebagai manusia dan makhluk Allah beserta tujuan-tujuannya. Menurut pandangan Islam, anak sebagai manusia yang mempunyai fitrah yang baik, yang dalam perkembangannya sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang lain dari luar dirinya. Tentang ini dapat ditemukan dalam al-Quran dalam surat Ar-Ruum ayat 30 yaitu:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Fitrah berarti potensi yang dimiliki anak untuk menerima agama, iman dan tauhid serta peilaku yang suci. Dalam pertumbuhannya anak itu sendirilah yang harus berupaya mengarahkan fitrah tersebut.[6] Hai ini menunjukkan bahwa anak dapat memperoleh kecakapan melalui sesuatu yang dapat merubah dirinya menjadi lebih baik dan tahu berbagai hal. Oleh karena itulah pendidهkan merupakan suatu kebutuhan bagi anak untuk menjadikannya manusia yang sempurna.
2.      Hak Kebebasan
a.       Anak Boleh Saja Berbeda dengan yang Lain
Setiap anak merupakan gabungan unik berbagai ciri khas yang ditentukan oleh jenis kelamin, tipe tubuh, watak, kepribadian, kecerdasan dan gaya belajar. Dengan adanya konsep tersebut dalam konsep pendidikan anak boleh berbeda dengan yang lain. Dengan adanya konsep seperti demikian maka dalam mendidik anak akan menumbukan sifat:[7]
1)      Tidak takut mengekspresikan diri dengan caranya sendiri
2)      Tidak takut menggunakan imajinasinya dan memberi kebebasan untuk menguasai potensi kreatif.
 Anak merupakan ciptaan Allah yang berdiri sendiri, memiliki takdir dan individu tersendiri yang terlepas dari individu lain. Pada hakikatnya  anak merupakan individu yang berbeda dengan siapapun, termasuk kedua orang tuanya. Sehingga anak dapat mengembangkan kreasi-kreasi dan kecenderungan yang terdapat dalam diri anak. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al- Isra’ ayat 84:
ö@è% @@à2 ã@yJ÷ètƒ 4n?tã ¾ÏmÏFn=Ï.$x© öNä3š/tsù ãNn=÷ær& ô`yJÎ/ uqèd 3y÷dr& WxÎ6y
Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.

Namun banyak orang tua yang mendidik  anaknya dengan cara membandingkan dengan anak yang lain sehingga menyebabkan anak akan kehilangan percaya diri dan menumbuhkan rasa benci kepada orang yang membandingkannya.
Oleh karen itulah orang tua hendaklah menghargai dan menumbuhkan keenderungan-kecenderungannya akan potensi dan bakat yang dimiliki anak tersebut. Kewajiban orang tua yakni mengusahakan agar anak tumbuh dewasa menjadi pribadi yang shaleh dan shaleha. Orang tua hendaklah mendidik anak secara bijak dan sehat karena anak mempunya hak otonomi dan hak kebebasan.
b.      Anak boleh saja membuat kesalahan
Dalam proses perkembangan, sebenarnya membuat kesalahan sama pentingnya dengan meraih keberhasilan. Tidak mungkin manusia dapat memiliki kemampuan tertentu tanpa pernah melakukan kesalahan atau kekeliruan. Karena kesalahan adalah bagian integral dari perkembangan itu sendiri. Oleh karena iru mengingkarinya atau menghukum setiap kesalahan yang membabi buta, akan merusak proses perkembangan itu sendiri.[8]
Menurut penulis bahwa manusia hidup di dunia ini tidak ada yang sempurna kecuali Nabi Muhammad saw. Begitu juga dengan anak yang dilahirkan ke dunia ini, dengan membawa berbagai persoalan dan seberkas masalah sendiri. Meskipun anak diperbolehkan melakukan kesalahan orang tua harus tetap memegang kendali[9] dengan membimbing anak-anak agar tidak keluar dari ajaran Islam dengan memberikan pokok-pokok pendidikan Islam yaitu pendidikan aqidah, ibadah, akhlak, dan keimanan sehingga dapat menciptakan anak yang sholeh dan sholeha.
Kemudian bagi orang tua dalam menanggapi kesalahan anak juga tidak dibolehkan dengan jalan yang tidak sehat, seperti dengan kekerasan. Dalam pendidikan Islam bahwa mendidik anak tidak boleh dengan kekerasan. Selain itu, secara psikologis apabila anak di hukum karena kesalahannya, mereka akan merasa ketakutan, dan menjadi anak yang tidak bertanggung jawab  atas perbuatannya sehingga dapat memunculkan sifat buruk yang lain misalnya berbohong.
c.       Anak Boleh Saja Mempunyai Emosi  Negatif
Emosi negatif adalah bagian dan penting dari perkembangan anak. Emosi anak membantu anak dalam membuat penyesuaian yang harus diadakan agar anak dapat menerima segala keterbatasan dalam hidup. Namun apabila emosi negatif tidak diekspresikan maka bukan hanya konflik yang timbul tetapi rasa cemas, sifat agresif dan kesepian. Akibatnya anak akan sensitif karena masalah yang belum tersalurkan, padahal anak memiliki hak untuk menyalurkan perasaan tersebut, karena perasaan tersebut merupakan identitas dari diri anak.
Ketika manusia lahir pun emosi negatif telah diberikan oleh Allah, seperti takut, senang, cemas, agresif, kesepian dan marah. Namun emosi ini tidak selamanya bersifat negatif. Seperti contoh marah, marah merupakan  emosi yang sifatnya fitrah dan akan muncul ketika salah satu motivasi dasar seseorang tidak terpenuhi.[10] Menurut Nasikh Ulwan marah juga berfaedah misalnya untuk memelihara jiwa, memelihara agama, memelihara nama baik dan untuk memelihara tanah air Islam dari tipu daya kolonialis.[11]
Oleh karena itulah dalam menerapkan pendidikan kepada anak memang tidak seharusnya mendiktekan doktrin-doktrin mati. Biarkan anak berkembang sesuai dengan alamnya sendiri, asalkan anak tetap bergerak pada jalur yang dibenarkan oleh akidah dan hidup mempedomani nilai-nilai Islam.
3.      Hak Mendapatkan Reward
Kalau motivasi memiliki peran penting dalam membangkitkan semangat seseorang untuk mencari problem solving, maka reward juga memiliki posisi penting untuk mensupport seseorang untuk melakukan respon positif. Rasulullah SAW telah mengisyaratkan arti penting reward dalam membentuk kepribadian luhur sebagai produk pendidikan yang diidamkan[12] yang tercermin dalam sabdanya:
اعطوا الاجير اجره قبل ان يجف عرقه[13]
           “Berikalah bayaran pelayan sebelum keringatnya mengering”
Reward yang diberikan tidak selalu berupa materi, namun bisa juga bersifat abstrak berupa pujian. Pujian adalah ganjaran yang diberikan  kepada murid tertentu sebagai pernyataan bahwa guru memaklumi usaha murid. Secara emosional pujian dapat membuat murid senang sehingga menjadi dorongan belajar dengan baik.[14] Rasulullah telah menggambarkan hakikat masalah ini ketika beliau berwasiat kepada para sahabatnya untuk memberi reward bagi orang yang telah melakukan perbuatan baik, sekalipun hanya berupa ucapan yang manis dalam sabdanya:[15]
ومن صنع اليكم معروفا فكافئوه فان لم تجدوا ما تكافئونه فادعواله حتى تروا انكم قد كافاتموه
“Barang siapa telah berbuat kebaikan kepada kalian, maka berikanlah hadiah kepadanya. Jika kalian tidak memiliki sesuatu yang bisa diberikan sebagai hadiah, maka doakanlah dia sampai  kalian merasa benar-benar telah memberinya hadiah”.


BAB II
KESIMPULAN

            Dari pembahasan yang telah dipaparkan maka penulis menyimpulkan beberapa hal yaitu:
1.      Hak anak adalah sesuatu yang harus harus didapatkan atau diterima oleh anak dan apabila tidak diperoleh, anak berhak menuntut hak tersebut.
2.      Adapun hak-hak anak dalam konsep pendidikan Islam adalah hak pendidikan, hak kebebasan dan hak mendapat pujian.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Nasikh Ulwan, Tarbitatul Aulad Fil Islam, Terj. Kholilullah Ahmad         Mansur Hakim, Pendidikan Anak Menurut Islam;Mengembangkan           Kepribadian Anak, Bandung: PT. Rosda Karya, 1990

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo        Persada, 2011

Abd. Rachman Shaleh dan M. Yusuf Muchtar, Psikologi Pendidikan, Jakarta:        Bagian Proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Guru  Agama         Diretorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen             Agama Islam, 1983

Apong Herlina dkk dan UNICEF, Perlindungan Anak, Jakarta: tp, 2003

Baihaqi A. K, Mendidik Anak dalam Kandungan, Jakarta: Darul Ulum Press,          2001

Harris Clemes, Reynold Beand, How To teach Raise Children’s Self-Estem Terj     Anton Adi Wiyoto, Membangkitkan Harga Diri Anak, Jakarta: Mitra      Utama, 2001

Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan   Pendidikan, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995

Ibnu Mustafa, Keluarga Islam Menyingsong Abad 21, Bandung: Al-Bayan, 1993

Muhammad Usman Najati, Al- Hadiitsun-Nabawiy wa’Ilmun-Nafs, terj  Wawan     Djunaedi Soffandi, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi SAW,             Jakarta: Mustaqiim, 2003
                                                        
Paul Subiyanto, Mendidik Dengan Hati, Jakarta: Elek Media Komputindo, 2004

Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Ppopuler, Surabaya:          Arkola,1994

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar             Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994

Undang-Undang HAM  1999 dan Undang-Undang tentang Unjuk Rasa, Bandung:           Citra Umbara, 2000
        







[1]Ibnu Mustafa, Keluarga Islam Menyingsong Abad 21, (Bandung: Al-Bayan, 1993), h. 100.
[2]Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 365.
[3]Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Ppopuler, (Surabaya: Arkola, 1994), h. 211.
[4]Undang-Undang HAM  1999 dan Undang-Undang tentang Unjuk Rasa, (Bandung: Citra Umbara, 2000), h. 5. Lihat pula Apong Herlina dkk dan UNICEF, Perlindungan Anak, (Jakarta: tp, 2003), h. 22.
[5]Baihaqi A. K, Mendidik Anak dalam Kandungan, (Jakarta: Darul Ulum Press, 2001), h. 11.
[6]Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), h. 46-47.
[7]Harris Clemes, Reynold Beand, How To teach Raise Children’s Self-Estem Terj Anton Adi Wiyoto, Membangkitkan Harga Diri Anak, ( Jakarta: Mitra Utama, 2001), h. 22.
[8]Paul Subiyanto, Mendidik Dengan Hati, (Jakarta: Elek Media Komputindo, 2004), h. 49.
[9]Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995), h. 40.
[10]Muhammad Usman Najati, Al- Hadiitsun-Nabawiy wa’Ilmun-Nafs, terj  Wawan  Djunaedi Soffandi, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi SAW, (Jakarta: Mustaqiim, 2003), h. 130.
[11]Abdullah Nasikh Ulwan, Tarbitatul Aulad Fil Islam, Terj. Kholilullah Ahmad Mansur Hakim, Pendidikan Anak Menurut Islam; Mengembangkan  Kepribadian Anak, (Bandung: PT. Rosda Karya, 1990), h. 165.
[12] Muhammad Usman Najati, Al- Hadiitsun-Nabawiy wa’Ilmun-Nafs, terj  Wawan  Djunaedi Soffandi, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi SAW, (Jakarta: Mustaqiim, 2003), h. 232.
[13]Hadist tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari ‘Abdullah bin ‘Umar, vol. II, hadist nomor 2443.
[14]Abd. Rachman Shaleh dan M. Yusuf Muchtar, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan  Mutu Pendidikan Guru  Agama Diretorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Islam, 1983),h. 78.
[15]Muhammad Usman Najati, Al- Hadiitsun-Nabawiy wa’Ilmun-Nafs, terj  Wawan  Djunaedi Soffandi, Psikologi dalam Tinjauan Hadist Nabi SAW, (Jakarta: Mustaqiim, 2003), h. 234.